Pelanggaran
kode etik profesi adalah penyelewengan/ penyimpangan terhadap norma yang
ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi
petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin
mutu profesi itu dimata masyarakat.
Kode
etik untuk sebuah profesi adalah sumpah jabatan yang juga diucapkan oleh para
pejabat Negara. Kode etik dan sumpah adalah janji yang harus dipegang teguh.
Artinya, tidak ada toleransi terhadap siapa pun yang melanggarnya. Benar
adanya, dibutuhkan sanksi keras terhadap pelanggar sumpah dan kode etik
profesi. Bahkan, apabila memenuhi unsur adanya tindakan pidana atau perdata,
selayaknya para pelanggar sumpah dan kode etik itu harus diseret ke
pengadilan.Kita memang harus memiliki keberanian untuk lebih bersikap tegas
terhadap penyalahgunaan profesi di bidang apa pun. Kita pun tidak boleh
bersikap diskrimatif dan tebang pilih dalam menegakkan hukum di Indonesia. Kode
etik dan sumpah jabatan harus ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Profesi apa
pun sesungguhnya tidak memiliki kekebalan di bidang hukum. Penyalahgunaan
profesi dengan berlindung di balik kode etik profesi harus diberantas. Kita
harus mengakhiri praktik-praktik curang dan penuh manipulatif dari sebagian elite
masyarakat. Ini penting dilakukan, kalau Indonesia ingin menjadi sebuah Negara
dan Bangsa yang bermartabat.
Beberapa kasus yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia,
salah satunya adalah laporan keuangan ganda Bank Lippo pada tahun 2002.Kasus
Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan oleh
Bapepam untuk periode 30 September 2002, yang masing-masing berbeda. Laporan
yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik atau diiklankan melalui
media massa pada 28 November 2002. Kedua, laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002,
dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan publik, dalam hal ini kantor
akuntan publik Prasetio, Sarwoko dan Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih
dan disampaikan kepada manajemen Bank Lippo pada 6 Januari 2003. Dari ketiga
versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar telah diaudit dan mencantumkan
”opini wajar tanpa pengecualian” adalah laporan yang disampaikan pada 6 Januari
2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan adanya penurunan AYDA (agunan yang
diambil alih) sebesar Rp 1,42 triliun, total aktiva Rp 22,8 triliun, rugi
bersih sebesar Rp 1,273 triliun dan CAR sebesar 4,23 %. Untuk laporan keuangan
yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata terdapat kelalaian manajemen
dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan tersebut belum diaudit, dimana
angka yang tercatat pada saat diiklankan adalah AYDA sebesar Rp 2,933 triliun,
aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba bersih tercatat Rp 98,77 miliar, dan CAR
24,77 %. Karena itu BAPEPAM menjatuhkan sanksi denda kepada jajaran direksi PT
Bank Lippo Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar, karena pencantuman kata ”diaudit” dan
”opini wajar tanpa pengecualian” di laporan keuangan 30 September 2002 yang
dipublikasikan pada 28 Nopember 2002, dan juga menjatuhkan sanksi denda sebesar
Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih selaku partner kantor akuntan publik (KAP)
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan penyampaian informasi
penting mengenai penurunan AYDA Bank Lippo selama 35 hari. Kasus-kasus skandal
diatas menyebabkan profesi akuntan beberapa tahun terakhir telah mengalami
krisis kepercayaan. Hal itu mempertegas perlunya kepekaan profesi akuntan
terhadap etika. Jones, et al. (2003) lebih memilih pendekatan individu terhadap
kepedulian etika yang berbeda dengan pendekatan aturan seperti yang berdasarkan
pada Sarbanes Oxley Act. Mastracchio (2005) menekankan bahwa kepedulian terhadap
etika harus diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi
masuk di dunia profesi akuntansi. Dari kedua kasus di atas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa dalam profesi akuntan terdapat masalah yang cukup pelik di
mana di satu sisi para akuntan harus menunjukkan independensinya sebagai
auditor dengan menyampaikan hasil audit ke masyarakat secara obyektif, tetapi
di sisi lain mereka dipekerjakan dan dibayar oleh perusahaan yang tentunya
memiliki kepentingan tersendiri.
Menurut saya, sangat tidak etis menggunakan mobil dinas untuk
kepentingan pribadi. Kendaraan dinas diberikan untuk keperluan pekerjaan dan
merupakan fasilitas untuk mempermudah menyelesaikan tugas. Jadi sebaiknya
kendaraan dinas tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
Sumber : http://lismaaja.blogspot.com/2011/12/contoh-kasus-pelanggaran-kode-etik.html
http://mahrus.wordpress.com/2008/02/04/penyebab-pelanggaran-kode-etik-profesi-it
Tidak ada komentar:
Posting Komentar